Emosi bukan hanya urusan pribadi yang dirasakan dalam hati, tetapi juga kekuatan sosial, budaya, dan historis yang membentuk dunia sebagaimana kita mengenalnya. Dalam A Human History of Emotion, Richard Firth-Godbehere membawa kita menelusuri jejak emosi dari zaman kuno hingga era digital—menunjukkan bagaimana konsep tentang emosi dan cara kita mengalaminya telah berubah secara radikal sepanjang sejarah.
Buku ini bukan hanya penelusuran ilmiah tentang psikologi atau biologi, tetapi narasi lintas zaman tentang bagaimana emosi membentuk hukum, agama, seni, politik, dan bahkan teknologi. Dengan pendekatan interdisipliner dan narasi yang memikat, pembaca diajak memahami bahwa emosi bukan sesuatu yang tetap, melainkan hasil rekonstruksi budaya yang terus berkembang.
Emosi Bukan Benda Tetap—Ia Terbentuk oleh Zaman dan Budaya
Salah satu argumen utama Godbehere adalah bahwa emosi tidak selalu dirasakan atau dipahami dengan cara yang sama sepanjang sejarah.
Contoh:
- Orang Romawi kuno tidak memiliki konsep “depresi” seperti sekarang, tapi mereka mengenal “melankolia” yang dikaitkan dengan ketidakseimbangan cairan tubuh (humor).
- Rasa takut dalam budaya Kristen Abad Pertengahan dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap Tuhan—berbeda dari konsep rasa takut sebagai kelemahan psikologis dalam era modern.
Ini membuktikan bahwa:
- Emosi adalah konstruksi sosial dan historis, bukan hanya reaksi biologis.
- Apa yang kita sebut “normal” secara emosional hari ini bisa jadi dianggap aneh di masa lalu—dan sebaliknya.
Emosi sebagai Penggerak Agama, Politik, dan Kekuasaan
Emosi telah lama digunakan oleh pemimpin dan institusi untuk mengendalikan massa, menciptakan loyalitas, dan melegitimasi kekuasaan.
Beberapa contoh penting:
- Gereja Abad Pertengahan membangkitkan rasa takut akan neraka dan rasa bersalah untuk mempertahankan kekuasaan moral.
- Revolusi Prancis dipicu oleh kemarahan dan perasaan ketidakadilan sosial.
- Nazi Jerman mengeksploitasi rasa takut dan kebencian untuk menciptakan “musuh bersama” dan menyatukan identitas nasional.
Godbehere menekankan bahwa politik emosional bukan fenomena baru—dan justru semakin berbahaya ketika tidak dikenali.
Evolusi Biologis dan Emosi Dasar
Meskipun pendekatan buku ini lebih kultural dan historis, Godbehere juga membahas akar biologis dari emosi seperti:
- Amigdala dan respons fight-or-flight.
- Emosi dasar seperti takut, marah, jijik, cinta, dan senang sebagai hasil evolusi untuk bertahan hidup.
- Tetapi—yang paling penting—bagaimana kita menafsirkan dan mengekspresikan emosi tersebut bergantung pada budaya.
Contohnya:
- Rasa malu di Jepang bisa sangat kuat hingga memicu pengunduran diri atau bahkan bunuh diri.
- Di negara Barat, malu lebih sering ditanggapi sebagai hal yang perlu “disembuhkan” melalui terapi.
Kesimpulannya: emosi mungkin biologis, tapi ekspresi dan nilainya sangat sosial.
Emosi dalam Seni, Sastra, dan Musik
Kebudayaan menyimpan jejak emosi manusia melalui:
- Puisi cinta Persia yang menggambarkan ekstasi dan derita dengan indah.
- Drama Yunani klasik yang merayakan kemarahan, tragedi, dan pencerahan.
- Simfoni besar Eropa yang membangkitkan nostalgia dan patriotisme.
Seni menjadi wadah di mana emosi yang tidak bisa diucapkan dalam kata-kata dapat “dibaca” dan “dirasakan” bersama. Godbehere menyebut seni sebagai media universal untuk menyuarakan emosi kolektif.
Emosi di Era Sains dan Psikologi Modern
Memasuki abad ke-19 dan 20, ilmu pengetahuan mulai mengkategorikan, menganalisis, dan mengintervensi emosi.
Contoh:
- Sigmund Freud membingkai emosi sebagai konflik antara naluri dan kesadaran.
- Behaviorisme mencoba menghilangkan emosi dari studi psikologi karena dianggap “tidak terukur.”
- Psikologi humanistik dan kognitif modern mengembalikan peran emosi sebagai inti pengalaman manusia.
Namun, Godbehere menegaskan bahwa meskipun kita sekarang bisa memindai otak dan mengukur hormon, makna emosi tetap bergantung pada konteks sosial dan narasi personal.
Kapitalisme dan Emosi: Pasar Perasaan
Di era modern, emosi bukan hanya pengalaman pribadi—ia adalah komoditas.
- Iklan menggunakan rasa takut kehilangan (FOMO) untuk menjual.
- Media sosial mengekstrak perhatian dengan memancing kemarahan dan validasi.
- Dunia kerja mempromosikan “toxic positivity”—di mana Anda diharuskan tetap bahagia meskipun lelah dan stres.
Godbehere menyebut ini sebagai “ekonomi emosi”, di mana perasaan diproses, dipasarkan, dan dijual.
Dalam konteks ini, menyadari dan mengelola emosi menjadi bentuk perlawanan dan pembebasan.
Emosi di Era Digital dan Masa Depan
Bagaimana masa depan emosi di era AI dan realitas virtual?
Godbehere memperingatkan bahwa:
- Teknologi bisa mempercepat disonansi emosional, misalnya dengan menciptakan kelekatan palsu melalui chatbot atau avatar.
- Algoritma bisa memanipulasi emosi tanpa kita sadari, menciptakan polarisasi sosial.
- Namun di sisi lain, teknologi juga bisa memperluas empati—misalnya dengan cerita virtual yang mengajak kita “merasakan” hidup orang lain.
Ia mengajak kita untuk tetap manusiawi dalam dunia yang semakin terotomatisasi—dengan memahami, bukan melarikan diri dari, emosi kita.
Kesimpulan
A Human History of Emotion adalah eksplorasi menyeluruh dan menggugah tentang bagaimana emosi bukan hanya bagian dari kehidupan batin kita, tetapi aktor sejarah yang membentuk peradaban, agama, politik, seni, dan budaya. Richard Firth-Godbehere mengajak kita melihat bahwa perasaan yang kita anggap alami ternyata sangat dipengaruhi oleh waktu dan tempat kita hidup. Seperti pepatah, “Sejarah adalah kisah para pemenang,” buku ini menunjukkan bahwa emosi adalah bahasa dari cerita itu—baik yang diteriakkan maupun yang disembunyikan. Untuk memahami manusia, kita harus memahami sejarah emosinya.
Suka dengan rangkuman ini? Kamu pasti akan suka dengan bukunya juga! Klik disini untuk beli buku selengkapnya.
Tentang Penulis
Richard Firth-Godbehere adalah akademisi, penulis, dan peneliti terkemuka di bidang sejarah emosi dan psikologi budaya. Ia memegang gelar doktor dalam studi interdisipliner tentang emosi dari Queen Mary University of London, dan telah menjadi penasihat berbagai institusi global tentang peran emosi dalam pengambilan keputusan dan perubahan sosial.

